Reformasibirokrasi yang telah digagas pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2010 terus berlanjut hingga saat ini. Grand design reformasi birokrasi tersebut telah diprogramkan untuk periode 2010-2025. Reformasi birokrasi ini terbagi ke dalam tiga fase yaitu fase 2010-2014, fase 2015-2019, dan fase 2020-2024. Pontos-chaveAuxílio emergencial deixa milhares de brasileiros de volta à situação de vulnerabilidade social;Parte dos beneficiários do auxílio emergencial serão incluídos no Bolsa Família;Auxílio Brasil será o substituto do Bolsa Família e auxílio emergencial a partir deste mês. O fim do auxílio emergencial foi um baque para muitos brasileiros em situação de vulnerabilidade. Cerca de 39 milhões de pessoas se tornaram órfãos do benefício que tem os amparado desde abril de 2020. Órfãos do auxílio emergencial Quem são as pessoas que ficarão sem ajuda? Imagem FDR Ao mesmo tempo em que a sétima parcela da atual rodada do auxílio emergencial foi bastante aguardada devido às necessidades financeiras, ela foi bastante temida. O temor significa o marco do fim de uma era e o retorno da situação de extrema dificuldade. É o caso da auxiliar de limpeza Rubia Santos, de 41 anos de idade e mãe de uma criança de dois anos de idade, um menino de 19 e uma menina de 22. A família mora em uma casa na zona Sul de São Paulo, na qual, dos quatro adultos que ajudam nas despesas da casa, três estão desempregados. Rubia Santos é a única que possui alguma renda após o marido que trabalhava como segurança ser demitido, além de o casal de filhos já estar sem trabalhar a algum tempo. A mulher conta que ganha um salário mensal de R$ quantia insuficiente para arcar com todas as despesas de aluguel, luz, alimentação, contas de água e energia. A auxiliar de limpeza bem que tentou, mas assim como outros quase dois milhões de brasileiros que permanecem na fila de espera, não conseguiu fazer parte do programa Bolsa Família. A bolsa será substituída pelo Auxílio Brasil ainda neste mês de novembro. A nova transferência de renda promete superar financeiramente o benefício anterior. Mas Rubia Santos não é a única que passa por dificuldades com o término do auxílio emergencial. Maria Eduarda Santos, mãe de uma menina de dois anos, também não sabe como manterá as despesas após receber sete parcelas no valor de R$ 150. Embora a quantia seja mínima, era essencial para custear itens como o leite e outras despesas básicas da casa. Mas ela conta que agora teme o futuro próximo tendo em vista que ela não está inscrita no Cadastro Único CadÚnico do Governo Federal. Nota-se que o fim do auxílio emergencial deixa para trás dois tipos de órfãos aqueles que não estão inscritos no CadÚnico por não se enquadrarem nos critérios de inclusão do Bolsa Família, bem como aqueles que não teriam direito a receber a renda mínima, mas permanecem na fila de espera para o cadastro. Muitos nem conseguiram requerer o cadastramento. Auxílio emergencial O auxílio emergencial foi criado no ano de 2020, e foi pago nos valores iniciais de R$ 600 e R$ entre os meses de abril a agosto. Logo em seguida o programa foi prorrogado, mas as parcelas foram reduzidas para R$ 300 e R$ 600, sendo que os valores máximos eram voltados às mães solteiras chefes de famílias monoparentais. E assim se encerrou os pagamentos no ano passado. No início de 2021, após muita luta, o programa finalmente foi renovado, também no mês de abril. Mas para que o auxílio emergencial pudesse voltar a ser pago, o Governo Federal precisou reajustar novamente o valor das parcelas para R$ 150, R$ 250 e R$ 375. Durante sete meses, de abril a outubro, a parcela mínima foi paga aos beneficiários que moram sozinhos. A quantia média foi destinada aos representantes dos grupos familiares e a cota máxima às mães solteiras. Órfãos do auxílio emergencial Quem são as pessoas que ficarão sem ajuda?Imagem FDR Auxílio Brasil O Auxílio Brasil é a grande promessa do Governo Federal para fazer o papel do auxílio emergencial e do tradicional Bolsa Família. O programa deve começar a vigorar ainda este mês, pagando cerca de R$ 230 a 14,6 milhões de beneficiários. Embora a proposta original seja de parcelas no valor de R$ 400, que devem começar a ser disponibilizadas somente de dezembro em diante. O valor exato do Auxílio Brasil depende da aprovação da Proposta de Emenda à Constituição PEC dos precatórios, que será capaz de criar um espaço de até R$ 40 bilhões no Orçamento da União em 2022. O texto depende da aprovação dos deputados, os quais têm adiado a apreciação do tema há semanas. Enquanto isso, os 14,6 milhões de beneficiários que já recebiam o Bolsa Família não precisam se preocupar, pois serão incluídos no Auxílio Brasil caso continuem de acordo com os critérios de elegibilidade. Enquanto isso, as outras 2,4 milhões de pessoas que serão integradas por meio da ampliação do programa, devem estar inscritas no CadÚnico e apresentar uma renda mínima entre R$ 89 a R$ 178 mensais por pessoa. MAIS LIDAS FaktorFaktor Yang Mendukung & Menghambat Upaya Implementasi Reformasi Birokrasi POLRI (Makhsun, et al.) 16 served more than three years to be gradually replaced by other members; second, soon adding Dalmas's equipment and tools that still lacking, among others: raincoat, anti riot armor, barrier, APC car, and public address car, and - Reformasi di Indonesia disebut juga sebagai era pasca-Soeharto yang dimulai pada tahun 1998, mengakhiri kekuasaan 32 tahun Soeharto. Soeharto melepas jabatannya pada 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie. Baca juga Kabinet Ali Sastroamijoyo I Susunan, Program Kerja, dan PergantianLatar Belakang Mundurnya Presiden Soeharto dilatarbelakangi krisis moneter sejak 1997. Kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu tengah sangat melemah dan merosot sehingga menimbulkan ketidakpuasan masyarakat. Ketidakpuasan ini kemudian semakin membesar dan memicu terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh berbagai aksi mahasiswa di wilayah Indonesia. Kerusuhan-kerusuhan terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia. Akibatnya, pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pun mendapat banyak tekanan politik baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari luar negeri, Amerika Serikat secara terbuka meminta agar Soeharto mengundurkan dari jabatannya sebagai Presiden. Sedangkan dari dalam negeri, terjadinya gerakan mahasiswa yang turun ke jalan menuntut agar Soeharto lengser dari jabatannya. Kepemimpinan Soeharto semakin menjadi sorotan sejak terjadinya Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, di mana empat mahasiswa tertembak mati dan memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari kemudian. Tekanan dari para massa terhadap Soeharto pun memuncak ketika sekitar mahasiswa mengambil alih Gedung DPR/MPR yang berakibat proses politik nasional lumpuh. Soeharto yang saat itu sudah terdesak masih berusaha untuk menyelamatkan kursi kepresidenannya dengan melakukan perombakan kabinet dan membentuk Dewan Reformasi. Tetapi, pemberontakan yang dilakukan oleh para mahasiswa ini membuat Presiden Soeharto tidak memiliki pilihan lain selain mengundurkan diri. Pada 21 Mei 1998 di Istana Merdeka, Presiden Soeharto secara resmi menyatakan dirinya berhenti menjabat sebagai Presiden Indonesia. Melalui UUD 1985 Pasal 8, Soeharto segera mengatur agar Wakil Presiden BJ Habibie disumpah untuk menjadi penggantinya di hadapan Mahkamah Agung. Sejak saat itu, kepemimpinan beralih dari Soeharto ke BJ Habibie dan terbentuk Era Reformasi. Baca juga Kabinet Wilopo Latar Belakang, Susunan, dan Program Kerja Tujuan Gerakan atau Era Reformasi menjadi peristiwa bersejarah di Indonesia, karena mampu menuntaskan rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun, sejak 1966. Maksud dan tujuan diadakannya reformasi adalah Menuntut turunnnya harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak tinggi sejak Juli 1997. Menuntut MPR untuk tidak kembali mencalonkan Soeharto sebagai presiden untuk periode ketujuh. Menjelang lengsernya Soeharto, para pejabat melakukan perjanjian simbolik dan beberapa langkah kebijakan ekonomi guna untuk mencoba mengatasi keadaan dan mempertahankan kekuasaan buying time. Baca juga Kabinet Burhanuddin Harahap Latar Belakang, Susunan, dan Kebijakan Dampak Kebebasan Menyampaikan Pendapat Setelah reformasi, orang-orang bebas untuk mengemukakan pendapatnya. Presiden BJ Habibie memberikan ruang bagi siapapun yang ingin menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat umum maupun unjuk rasa atau demonstrasi. Namun, bagi mahasiswa yang akan melakukan aksi unjuk rasa, terlebih dulu diharuskan untuk mendapatkan izin dari pihak kepolisian dan menentukan lokasi di mana demonstrasi dilakukan. Hal ini dilakukan karena mengacu dengan UU No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Masalah Dwifungsi ABRI Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di perwakilan rakyat DPR mulai dikurangi secara bertahap, yaitu dari yang tadinya berjumlah 75 orang menjadi 38 orang. Dahulu, ABRI terdiri dari empat angkatan, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian RI. Namun, sejak tanggal 5 Mei 1999, Polri telah memisahkan diri dari ABRI dan berganti nama menjadi Kepolisian Negara, istilah ABRI juga berubah menjadi TNI. Reformasi Bidang Hukum Pada masa pemerintahan BJ Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum, di mana reformasi hukum ini disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Tindakan BJ Habibie terkait reformasi hukum ini pun disambut dengan baik oleh masyarakat luas, karena reformasi hukum ini mengarah kepada tatanan yang diharapkan masyarakat. Selama masa Orde Baru, karakter hukum yang berlaku di Indonesia cenderung bersifat konservatif, ortodoks, dan elitis. Hukum ortodoks sendiri merupakan hukum yang bersifat tertutup, sehingga masyarakat tidak memiliki peran sama sekali di dalamnya. Hukum pada masa Orde Baru ini pun kemudian dianggap sebagai bentuk hukum yang mengebiri Hak Asasi Manusia HAM. Oleh karena itu, hukum di era Orde Baru tidak lagi diterapkan pada masa reformasi, karena di era ini, BJ Habibie ingin menciptakan hukum yang dapat menjamin keamanan perlindungan HAM. Baca juga Kabinet Natsir Latar Belakang, Susunan, Program Kerja, dan Pergantian Demonstrasi Tragedi Trisakti Tragedi Trisakti menjadi salah peristiwa paling membekas sepanjang Era Orde Baru. Peristiwa ini terjadi pada 12 Mei 1998 silam, di mana empat mahasiswa yang sedang demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya tertembak dan tewas. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana 1978-1998, Heri Hertanto 1977-1998, Hafidin Royan 1976-1998, dan Hendriawan Sie 1975-1998. Insiden Berdarah di Medan 1998 Sewaktu Kerusuhan Mei 1998 sedang marak terjadi, salah satu kota yang juga banyak terjadi pertumpahan darah adalah Kota Medan. Insiden berdarah di Medan ini terjadi pada 6 Mei 1998. Kota ini mengalami kerusuhan yang hampir melumpuhkan kota tersebut. Waktu itu, ratusan toko dirusak, sejumlah kendaraan dibakar, serta lima orang tewas dan puluhan orang mengalami luka-luka akibat aksi unjuk rasa yang mereka lakukan. Tragedi Gejayan atau Tragedi Yogyakarta Tragedi Gejayan menjadi sebuah peristiwa bentrokan berdarah yang terjadi pada Jumat, 8 Mei 1998 di daerah Gejayan, Yogyakarta. Kerusuhan yang terjadi pada saat itu lantaran para demonstran mengunjuk rasa dan menuntut agar Soeharto lengser dari jabatannya. Dari peristiwa ini, terjadi banyak kekerasan antara aparat dengan mahasiswa Yogyakarta yang menyebabkan ratusan korban terluka, bahkan satu orang meninggal dunia, Moses Gatutkaca. Tragedi Penjarahan dan SARA jelang Reformasi 1998 Setelah terjadinya tragedi pertumpahan darah di sejumlah daerah di Indonesia, suasana di Kota Jakarta kembali mencekam pada 13 sampai 15 Mei 1998. Kala itu, Indonesia tengah mengalami krisis moneter, di mana hutang menumpuk dan dollar semakin meningkat. Belum selesai dengan krisis moneter, peristiwa nahas lain juga terjadi, di mana kios-kios dibakar, wanita etnis Tionghoa mengalami pelecehan seksual. Ratusan orang juga dikabarkan hilang serta tewas dalam kerusuhan ini. Kronologi Reformasi 5 Mei 1998 20 mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR untuk melakukan penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban yang disampaikan pada Sidang Umum MPR. 11 Maret 1998 Soeharto dan BJ Habibie disumpah menjadi Presiden dan Wakil Presiden. 14 Maret 1998 Soeharto menyampaikan kabinet baru bernama Kabinet Pembangunan VII. 15 April 1998 Soeharto meminta mahasiswa menghentikan aksi demonstrasi dan kembali ke kampus. 1 Mei 1998 Soeharto melalui Menteri Dalam Negeri dan Menteri Penerangan Alwi Dachlan mengatakan reformasi baru bisa dimulai tahun 2003. 2 Mei 1998 Soeharto meralat pernyataannya, bahwa reformasi bisa dimulai sekrang 1998. 4 Mei 1998 Mahasiswa di Medan, Bandung, dan Yogyakarta melakukan demonstrasi besar-besaran karena menyambut kenaikan harga bahan bakar minyak 2 Mei 1998. 5 Mei 1998 Terjadi demonstrasi mahasiswa besar-besaran di Medan yang berujung kerusuhan. 12 Mei 1998 Aparat keamanan menembak empat mahasiswa Trisakti yang berdemonstrasi secara damai. 13 Mei 1998 Mahasiswa di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi datang ke Kampus Trisakti untuk mengungkapkan duka cita yang berujung kerusuhan. 14 Mei 1998 Soeharto bersedia mengundurkan diri. 15 Mei 1998 Soeharto membantah bahwa ia ingin mengundurkan diri dari jabatannya. 16 Mei 1998 Warga asing berbondong-bondong kembali ke negeri mereka. 21 Mei 1998 Di Istana Merdeka, pukul Soeharto menyatakan mundur dari kursi Presiden dan BJ Habibie disumpah menjadi Presiden RI ketiga. Referensi Distian, Emita. 2018. Masa Reformasi. Pontianak Derwati Press. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Padaera reformasi sekarang ini, pemahaman tentang pancasila dan peranannya sangatlah penting.Memahami pancasila pada era reformasi,khususnya dalam konteks pancasila berkedudukan sebagai dasar negara Indonesia yang sekaligus menjadi ideologi dari negara Indonesia merupakan sebuah tuntutan yang hakiki karena sebagai bangsa Indonesia kita diharapkan memiliki pemahaman yang sama terhadap peranan
- Reformasi gereja adalah suatu skisma atau perpecahan yang terjadi pada Gereja Katolik di Eropa pada abad ke-15. Gerakan ini merupakan upaya untuk melakukan revolusi ajaran Kristen agar sesuai dengan Alkitab. Selain itu, paham baru seperti sekulerisme, individualisme, dan humanisme juga berusaha untuk meruntuhkan dominasi gereja dalam tatanan kehidupan di gerakan Reformasi Gereja tak lepas dari pengaruh Renaissance yang muncul di Italia pada sekitar abad ke-14. Baca juga Reformasi Gereja di Eropa Penyebab Reformasi Gereja Faktor munculnya Reformasi Gereja salah satunya adalah adanya penyimpangan terhadap ajaran Kristen oleh internal gereja. Orang-orang mulai mengkritik otoritas kepausan dan mempertanyakan berbagai penyalahgunaan dan ketidaksesuaian Gereja Katolik sebagai pusat politik dan budaya Kekristenan di Eropa. Mereka mengkritik doktrin-doktrin yang dianggap palsu dan mengutuk korupsi Gereja Katolik Roma. Praktik korupsi yang dimaksud adalah jual-beli jabatan rohaniwan serta penjualan indulgensi atau penebusan dosa. Selain itu, tumbuhnya nasionalisme membuat para raja di Eropa menolak dominasi dari gereja. Tokoh-tokoh Reformasi Gereja Tokoh penggerak Reformasi Gereja di Eropa adalah Martin Luther, yang kemudian diikuti oleh beberapa tokoh lainnya. Berikut ini tokoh-tokoh Reformasi Gereja di Eropa. Baca juga Reformasi Protestan, Pecahnya Agama Kristen Menjadi Beberapa Aliran Wikimedia Commons Patung Martin Luther di luar Gereja St. Mary, Berlin. Martin Luther Titik awal dimulainya reformasi adalah ketika Martin Luther memaku selembar kertas yang berisi 95 kritik terhadap otoritas Gereja Katolik. Aksi ini dilakukan di depan sebuah gereja di Wittenberg, Jerman, pada 31 Oktober 1517. Saat itu, Martin Luther dikenal sebagai seorang biarawan dan dosen di sebuah universitas di Wittenberg. Pada 1521, Luther dipanggil ke hadapan Dewan Worms dan secara resmi dikucilkan oleh Gereja Katolik. Tidak hanya itu, Dewan Worms mengutuk aksi Luther dan melarang warga Kekaisaran Romawi Suci untuk membela ataupun menyebarkan gagasan-gagasannya. Atas perlindungan Frederick III, Luther kemudian menerjemahkan Alkitab dari bahasa latin ke bahasa legitimasi para imam Katolik pun terancam karena orang-orang tidak perlu bergantung padanya untuk menafsirkan Alkitab. Pada akhir reformasi, Lutheranisme telah menjadi agama di sebagian besar wilayah Jerman, Skandinavia, dan Baltik. Baca juga Biografi Tokoh Dunia Martin Luther, Tokoh Reformasi Protestan Huldrych Zwingli Huldrych Zwingli lahir pada 1 Januari 1484 di Toggenburg, Swiss, dan meninggal pada 11 Oktober 1531. Dalam gerakan Reformasi Gereja, Zwingli sepakat dengan Martin Luther tentang keselamatan oleh iman dan kasih. Namun, ia berbeda pendapat dengan Luther terkait kehadiran Kristus dalam sakramen ekaristi atau ritual keagamaan. Zwingli berpendapat bahwa kehadiran Kristus dalam sakramen lebih bersifat spiritual. John Calvin John Calvin lahir di Noyon, Perancis, pada 10 Juli 1509 dan meninggal di Jenewa, Swiss, pada 27 Mei 1564. Dalam pandangan terkait Reformasi Gereja, Calvin secara tidak langsung dipengaruhi oleh Desiderius Erasmus, seorang Teolog asal Belanda. Calvin berpendapat bahwa keselamatan dan pengampunan dosa hanya diperoleh melalui iman, bukan dengan perbuatan baik. Baca juga Faktor Pendorong Kemunculan Zaman Renaissance Ia juga dikenal menyuarakan kepercayaan "predestinasi", yang bermakna bahwa seseorang dari awal telah dipilih Tuhan untuk diselamatkan. Namun, hal itu menimbulkan kontroversi karena dianggap tidak adil apabila Tuhan telah menentukan keselamatan seseorang terlepas dari bagaimana iman dan perbuatannya. John Knox John Knox lahir di Haddington pada 1514, dan meninggal pada 24 November 1572 di Edinburg, Skotlandia. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh John Calvin dan turut serta dalam gerakan Reformasi Gereja dengan membangun Gereja Presbitarian. Ia mendirikan gereja tersebut di Skotlandia, setelah melihat banyak rakyat yang marah dengan kekayaan yang ditimbun gereja. Selain itu, praktek asusila yang dilakukan gereja juga menjadi salah satu penyebab John Knox mendukung Reformasi Gereja. Referensi Mcgrath, Alister E. 1997. Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta BPK Gunung Mulia Riemer, Gerrit. 2009. Gereja-Gereja Reformasi di Indonesia. Jakarta BPK Gunung Mulia Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Dalampenilaian kualitas penerapan manajemen perubahan, terdapat 4 indikator yang harus dipenuhi oleh instansi pemerintah, yaitu: 1) Tim reformasi birokrasi; 2) Road map reformasi birokrasi; 3) Pemantauan dan evaluasi reformasi birokrasi; dan 4) Perubahan pola pikir dan budaya kinerja.
› Riset›25 Tahun Korban Reformasi... Perjalanan 25 tahun reformasi adalah waktu yang juga dirasakan oleh mereka yang menjadi korban dan keluarganya untuk menanti keadilan. Komitmen pemerintah menjadi tumpuan dan harapan terpenuhinya keadilan. Oleh Yulius Brahmantya Priambada 4 menit baca KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHOSalah satu aktivis Kamisan bersama mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menggelar Aksi Kamisan Ke-772 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 4/5/2023.Bulan Mei menyimpan memori bagi bangsa ini. Selama 25 tahun kehidupan di era Reformasi telah dijalani. Babak bersejarah tersebut membawa perubahan mendalam bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, reformasi tidak hanya melahirkan perubahan dalam kualitas demokrasi, tetapi juga menumpahkan darah dan air terdapat lima insiden yang dikelompokkan menjadi tiga tragedi terkait dengan reformasi. Pertama adalah penculikan aktivis di tahun 1997-1998. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Kontras mencatat setidaknya 24 orang diculik pada kurun waktu tersebut. Sembilan orang berhasil kembali, sedangkan 14 orang lainnya masih berstatus hilang dan satu orang ditemukan meninggal dengan luka berikutnya adalah insiden penembakan mahasiswa Universitas Trisakti selepas berdemonstrasi pada 12 Mei 1998. Peristiwa tersebut memakan korban empat orang yang semuanya adalah mahasiswa Trisakti. Sehari kemudian terjadi peristiwa yang menjadi momen terkelam reformasi, yakni kerusuhan 13-15 Mei dari Tim Gabungan Pencari Fakta TGPF menyatakan, setidaknya orang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Dari jumlah itu, sebanyak tewas terbakar, 27 meninggal karena senjata atau sebab lain, 91 luka-luka, dan 31 yang disertai dengan penjarahan dan pembakaran tersebut ternyata turut dibarengi dengan aksi kekerasan seksual yang masif. TGPF mencatat, terdapat 152 korban kekerasan seksual, mulai dari pelecehan hingga keji tersebut rupanya juga disertai dengan penganiayaan dan pembakaran, hingga menyebabkan 20 korban di antaranya berdarah berikutnya terjadi setengah tahun kemudian, tepatnya pada 13 November 1998. Kala itu, ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat berdemonstrasi di sekitar Semanggi menolak pelaksanaan Sidang Istimewa MPR A IBRAHIMAksi demonstrasi pada Mei 1998 yang diabadikan melalui kamera milik Firman Hidayatullah dipamerkan dalam pameran foto bertajuk 25 Tahun Reformasi. Pameran ini diselenggarakan Pena 98 pada 11-17 Mei insiden yang berujung kericuhan tersebut terjadi penembakan yang menyebabkan 17 warga sipil tewas dan 456 lainnya luka-luka. Tragedi ini lantas dikenal sebagai Tragedi Semanggi sekitar setahun kemudian, kisah pilu di Semanggi kembali terulang. Pada 24 September 1999, ribuan warga dari berbagai elemen berdemonstrasi di Semanggi untuk menolak Undang-Undang Penanggulangan Keadaan insiden yang dikenal sebagai Semanggi II ini, Kontras menemukan terdapat 11 korban tewas dan 217 luka-luka. Beberapa korban tewas ditemukan dengan luka tembak di luar kejadian-kejadian tersebut, terdapat pula insiden di beberapa kota, seperti penembakan Moses Gatotkaca, mahasiswa Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, dan kerusuhan di juga Pelanggaran HAM Masa Lalu yang Belum SelesaiPengusutanDengan korban yang mencapai ribuan jiwa, pemerintah sejatinya tidak tinggal diam. Proses pengadilan pertama terkait kasus Trisakti terjadi pada 7 Juni 1998 Kompas, 7/6/1998.Kemudian, pada 23 Juli 1998, pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta yang terdiri dari unsur pemerintah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM, dan organisasi tiga bulan kemudian, pada 4 November 1998, TGPF telah mengeluarkan delapan rekomendasi terkait kerusuhan 13-15 Mei 1998. Beberapa di antaranya adalah pemerintah harus segera melakukan penyelidikan lanjutan dan membuat instrumen hukum yang mendukung proses pada medio 2000, DPR membentuk Panitia Khusus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II TSS. Panitia yang diketuai Panda Nababan dari Fraksi PDI-P itu lantas menyatakan bahwa ketiga peristiwa tersebut adalah pelanggaran biasa dan bukan pelanggaran HAM tersebut diterima DPR dalam rapat paripurna dan menyerahkan penyelesaian kasus kepada pengadilan umum atau militer Kompas, 10/7/2001.Hasil yang disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR tersebut bertolak belakang dengan temuan Komisi Penyelidik Pelanggaran KPP HAM Trisakti-Semanggi yang menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam ketiga peristiwa berdarah tersebut Kompas, 22/3/2002.Akan tetapi, laporan dari KPP HAM menemui jalan buntu karena selalu dikembalikan oleh Kejaksaan Agung sebagai penyidik dan penuntut dengan berbagai alasan. Terakhir, Kejaksaan Agung mengembalikan 11 berkas penyelidikan kepada Komnas HAM pada November tidak hanya melahirkan perubahan dalam kualitas demokrasi, tetapi juga menumpahkan darah dan air tahun-tahun berikutnya, upaya pengusutan pelanggaran HAM berat pada kasus-kasus seputar reformasi seakan diam di 15 tersangka telah divonis bersalah dalam pengadilan tahun 1999 dan 2002, tetapi belum ada titik terang mengenai siapa pihak sesungguhnya di balik peristiwa-peristiwa berdarah Pengadilan HAM Ad Hoc sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang digadang-gadang dapat menemukan jawaban pun hingga kini belum juga Jalan Panjang Merawat Ingatan MasyarakatNonyudisialDengan mandeknya proses penyelesaian yudisial, pemerintah kemudian berfokus pada penyelesaian nonyudisial. Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat bentukan Kejaksaan Agung mengusulkan agar kasus-kasus yang diusut diselesaikan lewat jalur Joko Widodo Jokowi lantas pada Agustus 2022 membentuk Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu PPHAM.Akhirnya, setelah 25 tahun reformasi, berdasarkan laporan PPHAM, pada 11 Januari 2023 Presiden Jokowi mengakui dan menyesali terjadinya 12 pelanggaran HAM berat, termasuk penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, tragedi Trisakti, dan Semanggi tiga bulan kemudian, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Keppres Nomor 4 Tahun 2023 dan Instruksi Presiden Inpres Nomor 2 Tahun 2023 sebagai tindak lanjut proses penyelesaian nonyudisial sesuai rekomendasi Mei ini, Presiden Jokowi mengadakan rapat yang membahas pelaksanaan penyelesaian nonyudisial dengan 19 menteri, panglima TNI, jaksa agung, kepala Polri, dan lembaga penyelesaian nonyudisial tidak serta-merta meniadakan kewajiban pemerintah menegakkan penyelesaian secara serius dari pemerintah dan pengawalan dari masyarakat diperlukan untuk memenuhi keadilan bagi para korban reformasi, agar penantian korban dan keluarganya sepanjang 25 tahun terakhir ini tidak sia-sia. LITBANG KOMPASBaca juga Jejak Langkah 25 Tahun Reformasi
4 Dampak dari paham dan ajaran bagi John Wycliff dan John Huss [26] Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa John Wycliff yang dijuluki "Bintang Timur Reformasi Protestan" ini menyerang ajaran agama Katolik. Hal ini menimbulkan kontroversi yang panas antara John Wycliff yang notabene seorang imam terhadap Gereja katolik.
Gedung utama Mabes Polri istimewa/ Reformis mengandung pengertian orang yang menganjurkan reformasi atau orang yang mendukung reformasi. Adapun reformasi merupakan perubahan secara drastis untuk perbaikan bidang sosial, politik, atau agama dalam suatu masyarakat atau negara. Maka, istilah reformis yang dilekatkan oleh Kapolri dalam kata polisi reformis, kira-kira dapat ditafsir sebagai polisi yang mendukung reformasi di institusi kepolisi secara sempit, dan secara umum berarti mendukung reformasi di bidang hukum mengingat institusi Polri sebagai salah satu lembaga penegak hukum. Polri telah memiliki Grand Strategy 2005-2025 yang memperkenalkan tiga tahapan perubahan, mencakup pemulihan kepercayaan publik 2005-2010, pengembangan mitra kerja 20110-2015, dan periode 2016-2025 sebagai pencapaian institusi yang unggul. Jenderal Tito Karnavian menjabat sebagai Kapolri bersamaan dengan implementasi target pencapaian Polri sebagai institusi yang unggul. Tentu upaya yang dimulai tidak serta merta dimulai dari rencana pencapaian tahap akhir ini, karena keberlanjutan pencapaian reformasi sebelumnya belum seutuhnya sempurna. Berdasarkan visi perubahan tersebut, Polri mulai melakukan reformasi yang mencakup reformasi struktural, instrumental, dan kultural. Sejauh ini perubahan struktural dan instrumental relatif berlangsung dengan baik, akan tetapi perubahan kultural masih menjadi persoalan yang belum terpecahkan. Demikian pula perubahan dalam kelembagaan dan budaya Polri yang belum menyentuh akar “konservatisme” budaya yang sulit untuk berubah. Padahal, dengan dilahirkannya berbagai regulasi dan peraturan baru untuk internal organisasi Polri seharusnya mendorong proses perubahan budaya Polri Backer, 2009. Meskipun perubahan budaya tidak mudah dan membutuhkan waktu yang relatif lama Kadarmanta, 2007. Konteks reformasi kepolisian yang kemudian digaungkan kembali oleh Kapolri Tito Karnavian saat ini memiliki arti yang krusial, terkait dengan pencapaian reformasi kepolisian. Hal ini juga sejalan dengan target pemerintahan Joko Widodo yang mengeluarkan Paket Kebijakan Reformasi Hukum secara berkala sejak kuartal ketiga 2016. Indikator reformasi hukum secara substansi adalah memantapkan bahwa seluruh warga negara memiliki status sama di hadapan hukum. Hukum tidak pandang bulu, namun kondisi ini direfleksikan dengan bagaimana masyarakat dapat berinteraksi secara baik dengan berbagai institusi hukum. Polri sebagai lembaga penegak hukum, dalam sudut pandang ini dituntut menjadi aktor yang membangun kesadaran hukum di masyarakat. Bukan berarti mengantarkan segala perkara hukum ke hadapan pengadilan, tetapi lebih jauh dari itu adalah cipta kondisi tertib sehingga tidak berkembang menjadi masalah hukum. Namun seringkali, budaya pekerjaan okupasional kepolisian dipandang memiliki karakteristik berbeda dengan profesi lainnya. Petugas polisi diandaikan selalu bekerja dalam situasi berbahaya untuk memerangi kriminalitas dan tindakan-tindakan melawan hukum Skolnick, 1966; Bittner, 1967; Rubenstein, 1973. Oleh karena itu pekerjaan polisi membentuk sikap dan norma perilaku yang berbeda dengan profesi lain. Dalam konteks penyimpangan, perbedaan karakteristik itu pula yang seringkali diambil sebagai penjelasan terhadap berbagai perilaku menyimpang petugas polisi di lapangan Chan, 1997. Paradigma memerangi kejahatan fight againts crime masih banyak melekat di tubuh kepolisian. Padahal pemolisian yang baik memiliki tren ke arah pencegahan daripada penindakan. Lihat kembali kajian The Role and Responsibilities of the Police menjelaskan kinerja kepolisian di Inggris berdasarkan tuntutan keamanan properti. Dua kajian lain yang diulas pada pendahuluan juga menekankan adanya pergeseran peran pemolisian dari penindakan ke arah pencegahan. Istilah pencegahan dalam pemolisian di Indonesia berkenaan dengan menjaga ketertiban masyarakat dan perlindungan serta pengayoman masyarakat, kedua fungsi ini telah terinternalisasi dalam fungsi kepolisian. Namun, fungsi penegakkan hukum selama ini banyak dirasa jauh lebih mentereng dibandingkan kedua fungsi lainnya. Polisi reformis pada akhirnya merupakan suatu harapan bahwa reformasi di bidang hukum harus mencapai fase kembalinya kepercayaan publik. Hal ini sebagaimana disampaikan Jenderal Tito Karnavian dalam ceramah Sespimti Polri Dikreg Ke-25 2016 dan Pasis Sespimmen Polri Dikreg ke-56 2016. Indikator ini merupakan suatu turunan dari nilai-nilai demokrasi yang dianut sejak adanya reformasi 1998. Berikut kutipan ceramah Kapolri tersebut. Public trust is the matter nowadays, kepercayaan menjadi kunci saat ini. Semua unsur TNI Polri harus melayani masyarakat karena kekuasan berada di tangan rakyat. Penempatan polisi reformis pada jabatan strategis pada akhirnya merupakan suatu bentuk pemantapan kepemimpinan reformis yang berada di tubuh Polri. Reformasi kepemimpinan sudah dimulai dengan menempatkan Kapolri pada masa pemerintahan Joko Widodo, dengan menempatkan sosok Perwira Polisi muda, yakni Tito Karnavian, yang melewati empat angkatan dari pendahulunya. Konteks demokrasi telah menunjukkan bahwa perubahan yang cepat dapat berlaku. Pemilihan pimpinan dapat dilakukan secara objektif melalui sistem meritokrasi. []
PolisiTangkap 8 Orang Diduga Joki UTBK SBMPTN di Jatim Webinar Kejaksaan Negeri Depok dan Kampus UI, Diapresiasi Jaksa Agung Sekdakot Banjarbaru Hadiri Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan P4GN Sosialisasi Perjanjian Kerja Sama Bank Kalsel dengan Ikatan Pesantren Indonesia (IPI) Samakan Persepsi Untuk Mendapatkan Hasil Yang Maksimal di Porprov 2022,KONI Cianjur Gelar Penyegaran Pelatih Cabor
Anis MattaJakarta, – Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat Gelora Indonesia Anis Matta mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah dalam sejarah perjalanan reformasi yang telah berjalan selama 24 tahun belum selesai dan tidak sesuai dengan memunculkan rasa penyesalan dari para pelaku sejarah reformasi atau tokoh reformasi seperti Budiman Sujatmiko dan Fahri Hamzah, yang telah menumbangkan rezim Orde Baru dan melahirkan beberapa presiden. Namun, perubahan yang mereka ciptakan, ternyata tidak bisa dikontrol dan dikendalikan sesudahnya, oleh mereka sendiri.“Saya kira, saya telah berhasil membuat tokoh reformasi ini menyampaikan penyesalannya dengan baik. Yang mereka sesali adalah satu hal yang sama, bahwa reformasi belum selesai,” kata Anis Matta, Kamis 26/5/2022.Anis Matta meminta Budiman Sujatmiko dan Fahri Hamzah yang hadir dalam diskusi tersebut, untuk curhat dengan mimpi mereka sebagai seorang aktivis yang belum terealisasi atau belum menjadi kenyataan selama hampir seperempat abad reformasi.“Saya ingin sedikit meminta komentar mereka berdua yang bisa personal, khususnya Mas Budiman Sujatmiko dan Bung Fahri. Kira-kira apa yang Anda sesali, mimpi apa sebagai aktivis yang belum terealisasi dalam waktu 24 tahun reformasi ini,? tanya Anis Matta kepada mereka Anis Matta, Budiman Sujatmiko dan Fahri Hamzah memiliki satu kesamaan, yakni tidak memiliki ambisi kekuasaan. Sehingga perubahan yang mereka ciptakan, perjalanan sejarahnya tidak bisa mereka kontrol sesudahnya. “Itu menyebabkan perubahan yang mereka ciptakan tidak bisa mereka kontrol. Jalannya sejarah sesudahnya tidak seperti yang ada dalam rencana mereka. Sehingga banyak pekerjaan rumah yang belum selesai,” itu, Anis Matta berharap agar para calon presiden capres yang akan maju pada Pemilihan Presiden Pilpres 2024 berasal dari tokoh-tokoh reformasi agar agenda pekerjaan rumah reformasi bisa dituntaskan. “Bisakah kita berharap, bahwa tahun depan itu sekaligus para capres yang akan maju untuk Pemilu 24 itu datangnya dari tokoh-tokoh reformasi, untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang belum selesai,” ujar Anis Matta. Sebab, cita-cita reformasi pada dasarnya adalah pintu gerbang untuk menciptakan kesejahteraan, bukan hanya demokrasi saja, meskipun kedua-duanya bisa berdiri sendiri.“Tapi mimpi reformasi pada mulanya adalah menciptakan satu sintesa di mana demokrasi dan kesejahteraan bisa bertemu pada suatu titik dalam perjalanan sejarah kita,” katanya. Hal itu seperti yang terjadi pada sintesa Orde Lama Orla dan Orde Baru Orba. Orla dikatakan memiliki kebebasan, tapi tidak ada kesejahteraan, sementara saat Orba ada kesejahteraan, tapi tidak ada kebebasan.“Makanya saya membuat perumpamaan, Indonesia itu seperti burung. Dia disebut burung, kalau dia bisa terbang dan berkicau. Tapi kalau kalau dia lapar, dia tidak bisa terbang dan bisa berkicau saja, itu namanya burung dalam sangkar. Itu ada lagunya,” kata Anis Matta sambil lanjut Anis Matta, itu seperti burung yang sudah bisa terbang, tapi tidak terlalu lapar, sehingga terbangnya rendah, tidak begitu tinggi, padahal langitnya sangat tinggi. “Jadi lahirnya Partai Gelora sebenarnya, karena cita-cita reformasi yang ingin menjadikan Indonesia terbang tinggi. Sekarang sudah terbang, tapi terbangnya tidak terlalu tinggi, sementara langit Indonesia ini terlalu tinggi,” Umum Partai Gelora ini berharap agar para aktivis reformasi bisa mencari ilham dari kisah Nabi Yusuf, yang menafsirkan mimpi Raja Mesir. “Bahwa Nabi Yusuf meramalkan akan ada krisis yang terjadi di Mesir seperti yang dimimpikan oleh Raja Mesir. Dia tahu bagaimana mengatasi krisis, tapi beliau meminta dijadikan penguasa dan sebagai bendahara keuangan negara agar bisa mengambil alih situasi krisis,” yang terkandung dari kisah tersebut, adalah para aktivis reformasi harus terjun untuk mengejar kekuasaan agar bisa melakukan perubahan dan menuntaskan agenda reformasi yang belum selesai, tidak sekedar mengedepankan intelektualitas.“Kita harus pertemukan semangat perubahan yang ada pada para aktivis intelektual ini, dengan semangat pengambil-alihan situasi krisis tersebut. Syahwat kekuasaan mereka saat ini kecil, sehingga tidak bisa mengendalikan jalannya sejarah reformasi,” hal ini, Politisi dan Aktivis Demokrasi Budiman Sudjatmiko menegaskan, bahwa dirinya tidak memiliki ambisi untuk mengejar kekuasaan di eksekutif. Ia mengaku sudah puas menjadi Anggota DPR di lembaga legislatif.“Kalau ada yang saya sesali selama 24 tahun reformasi ini, karena secara pribadi, saya tidak punya ambisi perebutan kekuasaan atau kekuasaan eksekutif. Itu saya sadari, hanya puas di legislatif,” kata Budiman Anggota DPR dari PDIP mengatakan, penyesalan itu baru dia sadari sekarang ini, setelah 24 tahun reformasi, ternyata banyak agenda yang belum selesai dan tidak seusai dengan harapan seperti yang dicita-citakan reformasi. “Jadi setelah 24 tahun reformasi, kita akan lebih menyesal lagi dari apa yang tidak bisa kita lakukan sekarang. Sehingga perlu dorongan lebih kuat lagi supaya jelang 25 tahun reformasi, Indonesia punya lompatan yang lebih jauh lagi dalam pencapaian,” memimpin lompatan tersebut, kata Budiman, harus dipimpin oleh orang-orang yang dulu berjuang pada tahun 1998.“Sekarang bangsa Indonesia jelang 25 tahun hidup di sistem demokrasi. Kira-kira ada tidak, lompatan kualitatif yang bisa kita dorong lebih kencang lagi?” ucapnya. Ia menyadari bahwa Indonesia saat ini, banyak kemajuan, tapi kamajuannya masih belum signifikan.“Rasanya bisa digas, digas lagi deh, dan rasa-rasanya untuk bisa ngegas jalannya reformasi ini, syarat utama adalah seharusnya orang seperti teman aktivis 1998 untuk jadi garda depan untuk ngegas. Agar bisa keluar dari quarter life crisis kehidupan 24 tahun Idonesia pasca reformasi,” melihat kondisi saat ini, Budiman merasa adanya suatu energi, tujuan, dan semangat bersama yang sama seperti pada tahun 1998. Namun yang berbeda dari 24 tahun lalu adalah cakupan dari isi dan konten.“Menuju lompatan yang lebih jauh ini merupakan pekerjaan rumah tangga untuk satu tahun ke depan agar kelak saat 25 tahun usia reformasi, Indonesia sudah bisa mendapat skor yang jauh lebih positif lagi,” Sudjatmiko mengatakan narasi besar yang dirasa cocok dengan semangat zaman sekarang ini adalah narasi kemajuan.“Kalau tahun 98 itu adalah narasi kebebasan, kemudian setelah kebebasan saya ingin mendorong narasi kesetaraan dan keadilaan. Sekarang kita harus mendorong narasi kemajuan,” Wakil Ketua DPR Periode 2004-2019 Fahri Hamzah mengatakan, ia tidak terlalu memusingkan rasa penyesalan secara personal terhadap agenda reformasi yang belum selesai. “Kita nggak boleh mengambil itu terlalu personal, tapi hanya sebagai sebuah kritik. Kita memang tidak memiliki sebuah desain tentang reformasi, tapi tahu-tahu mendadak kita masuk dalam revolusi perubahan itu,” kata Fahri Hamzah. Reformasi ketika itu, kata Fahri Hamzah, hanya dibaca sebagai ekspresi rasa kebosanan dari rezim Soeharto yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun, yang menginginkan kebebasan dan kemapanan. “Nafasnya zaman itu, orang sudah bosan, makanya ketika Soeharto mengundurkan diri, rakyat pesta, banyak yang potong ayam dan sapi, begitulah ekspresinya. Tidak punya ide atau gagasan,” ungkap Fahri ekspresi kebosanan ini, bisa sangat berbahaya bagi sistem ketatenagaran dan perpolitikan kita, apabila tidak diatur secara tegas. Rakyat bisa menjatuhkan Presidennya sewaktu-waktu jika sudah bosan, sehingga ketika reformasi masalah pembatasan jabatan Presiden diatur. “Kalau masa jabatan Presiden tidak dibatasi, ketika kebosanan rakyat ini datang tiba-tiba itu yang berbahaya. Kalau orang sudah bosan pokoknya, susah dilawan. Itulah problem kita, karena kita tidak punya narasi,” itu, Fahri Hamzah mengkritik mantan aktivis reformasi yang kini menjadi Anggota DPR dari PDIP Adian Yunus Yusak Napitupulu, yang menolak BJ Habibie sebagai Presiden menggantikan Soehato, karena dianggap kaki tangan Soeharto dan Orba. “Saya dulu bentrok dengan temen-temennya mas Budiman Sudjatmiko, termasuk Mas Adian Napitupulu. Kenapa BJ Habibie ketika jadi Presiden, teman-teman mahasiswa tidak mengambil sedikit momen untuk membaca sejarah bahwa BJ Habibie ini, manusia yang lain. Dia datang membawa gagasan lain dalam negara, meskipun dia berada dibawah kekuasan Orde Baru. Dia ini orang Jerman, punya pikiran Eropa tentang konsep demokrasi,” ini, menurut Fahri, memiliki pespektif lain dalam berbangsa dan bernegara. Ia justru disalahkan gara-gara membela Habibie, padahal dia melihat Presiden RI ke-3 itu, memiliki konsep arsitektur bangunan sistem perpolitikan dan demokrasi di Indonesia. “Jadi sebagai bangsa kita punya problem itu. Kita selalu lebih tertarik kepada orang, daripada pada gagasannya. Habibie dianggap dari bagian dari Soeharto yang harus diturunkan dan dihancurkan,” yang telah berjalan 24 tahun ini, menurutnya, tidak memiliki bangunan arsitektur dari perubahannya, hanya sekedar mengakomodasi tuntutan mahasiswa seperti amandemen konstitusi, penghapusan Dwifungsi ABRI dan Otonomi Daerah. “Setelah 24 tahun reformasi, kalau kita mau mengevaluasi, maka bangunan pemerintahan itu harus memiliki fondasi dan narasi yang kuat agar bisa dipertahankan,” katanya. Sebab, gagasan yang diletakkan sebagai fondasi bangunan yang solid akan memelihara kebebasan dari sistem tersebut. “Makanya kita tidak punya masalah dengan para pemimpin, termasuk dengan Pak Jokowi Presiden Joko Widodo karena sudah dipilih rakyat, ya harus diterima, Ketua Umum Partai Gelora ini mengkritik Presiden Jokowi, karena Presiden dinilai ingin mengembangkan narasi kemajuan dengan mencontoh negara totaliter seperti China, bukan negara demokrasi.“Kita menginginkan antara demokrasi dan kesejahteraan harus jalan bersama-sama,” adalah penyerdehanaan pola keterpilihan pemimpin politik, jauh dari rekayasa politik. Karena saat ini, lanjutnya, muncul begitu banyak pemimpin yang didukung oligarki dan uang, padahal tidak memiliki kapasitas sebagai pemimpin.“Tiba-tiba balihonya muncul di mana-mana, karena dia punya uang, ini tidak fair. Sistem kita masih memfasilitasi kemewahan uang ini untuk memimpin, bukan kemewahan gagasan. Kalau orang seperti Mas Budiman Sujadmiko menjadi Presiden saya rela, tapi ini karena dia sekolah di luar negeri, punya uang banyak, menggunakan faslitas negara untuk populer, kita tolak karena orang seperti ini tidak punya gagasan,” Ketua Umum Nasional Pemuda Indonesia KNPI Muhammad Ryano Panjaitan meminta agar para aktivis reformasi tidak terjebak pada rasa penyesalan, karena akan membawa dampak pafa generasi berikutnya. “Kita tidak perlu terjebak di dalam penyesalan, tapi kita perlu mengawasi kinerja pemerintahan agar kebijakan-kebijakan yang dilahirkan sesuai amanat reformasi,” kata Ryano berharap semua pihak tidak berorientasi hanya kepada kekuasaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun juga harus mendukung program-program investasi dan enterpreneur. “Jadi narasi baru kita, adalah menciptakan aktivis enterpreneur yang jiwa kemandirian jiwa, kreativitas dan inovatif. Negara dikatakan maju, karena memiliki banyak entrepeneur, dan pemerintah perlu menggalakkan program enterpreuner ini,” Luki HerdianEditor Pahala Simanjuntak
Jawaban Pertanyaan: Bagaimana bisa mayoritas orang Jerman di era 1930an menaikan, menyukai dan mendukung Adolf Hitler yang adalah seorang diktator yang bertentangan dengan prinsip Renaisans dan Reformasi Protestanisme ditambah dia terang-terangan adalah anti-semit? Saya jelaskan dulu bagian per
Salahsatu yang sangat mendukung langkah ini adalah biarawan Johann Tetzel dari Ordo Dominikan. Kendati sebagian orang meragukan aksi Luther, Theses 95 yang juga dikenal dengan Disputation on the Power of Indulgences diingat sampai sekarang sebagai awal mula berdirinya Kristen Protestan dan diperingati sebagai Hari Reformasi setiap tanggal
wchs1ko.
  • aww5ankjmx.pages.dev/409
  • aww5ankjmx.pages.dev/180
  • aww5ankjmx.pages.dev/362
  • aww5ankjmx.pages.dev/407
  • aww5ankjmx.pages.dev/238
  • aww5ankjmx.pages.dev/336
  • aww5ankjmx.pages.dev/455
  • aww5ankjmx.pages.dev/371
  • orang yang mendukung reformasi