› Riset›25 Tahun Korban Reformasi... Perjalanan 25 tahun reformasi adalah waktu yang juga dirasakan oleh mereka yang menjadi korban dan keluarganya untuk menanti keadilan. Komitmen pemerintah menjadi tumpuan dan harapan terpenuhinya keadilan. Oleh Yulius Brahmantya Priambada 4 menit baca KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHOSalah satu aktivis Kamisan bersama mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menggelar Aksi Kamisan Ke-772 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 4/5/2023.Bulan Mei menyimpan memori bagi bangsa ini. Selama 25 tahun kehidupan di era Reformasi telah dijalani. Babak bersejarah tersebut membawa perubahan mendalam bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, reformasi tidak hanya melahirkan perubahan dalam kualitas demokrasi, tetapi juga menumpahkan darah dan air terdapat lima insiden yang dikelompokkan menjadi tiga tragedi terkait dengan reformasi. Pertama adalah penculikan aktivis di tahun 1997-1998. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Kontras mencatat setidaknya 24 orang diculik pada kurun waktu tersebut. Sembilan orang berhasil kembali, sedangkan 14 orang lainnya masih berstatus hilang dan satu orang ditemukan meninggal dengan luka berikutnya adalah insiden penembakan mahasiswa Universitas Trisakti selepas berdemonstrasi pada 12 Mei 1998. Peristiwa tersebut memakan korban empat orang yang semuanya adalah mahasiswa Trisakti. Sehari kemudian terjadi peristiwa yang menjadi momen terkelam reformasi, yakni kerusuhan 13-15 Mei dari Tim Gabungan Pencari Fakta TGPF menyatakan, setidaknya orang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Dari jumlah itu, sebanyak tewas terbakar, 27 meninggal karena senjata atau sebab lain, 91 luka-luka, dan 31 yang disertai dengan penjarahan dan pembakaran tersebut ternyata turut dibarengi dengan aksi kekerasan seksual yang masif. TGPF mencatat, terdapat 152 korban kekerasan seksual, mulai dari pelecehan hingga keji tersebut rupanya juga disertai dengan penganiayaan dan pembakaran, hingga menyebabkan 20 korban di antaranya berdarah berikutnya terjadi setengah tahun kemudian, tepatnya pada 13 November 1998. Kala itu, ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat berdemonstrasi di sekitar Semanggi menolak pelaksanaan Sidang Istimewa MPR A IBRAHIMAksi demonstrasi pada Mei 1998 yang diabadikan melalui kamera milik Firman Hidayatullah dipamerkan dalam pameran foto bertajuk 25 Tahun Reformasi. Pameran ini diselenggarakan Pena 98 pada 11-17 Mei insiden yang berujung kericuhan tersebut terjadi penembakan yang menyebabkan 17 warga sipil tewas dan 456 lainnya luka-luka. Tragedi ini lantas dikenal sebagai Tragedi Semanggi sekitar setahun kemudian, kisah pilu di Semanggi kembali terulang. Pada 24 September 1999, ribuan warga dari berbagai elemen berdemonstrasi di Semanggi untuk menolak Undang-Undang Penanggulangan Keadaan insiden yang dikenal sebagai Semanggi II ini, Kontras menemukan terdapat 11 korban tewas dan 217 luka-luka. Beberapa korban tewas ditemukan dengan luka tembak di luar kejadian-kejadian tersebut, terdapat pula insiden di beberapa kota, seperti penembakan Moses Gatotkaca, mahasiswa Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, dan kerusuhan di juga Pelanggaran HAM Masa Lalu yang Belum SelesaiPengusutanDengan korban yang mencapai ribuan jiwa, pemerintah sejatinya tidak tinggal diam. Proses pengadilan pertama terkait kasus Trisakti terjadi pada 7 Juni 1998 Kompas, 7/6/1998.Kemudian, pada 23 Juli 1998, pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta yang terdiri dari unsur pemerintah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM, dan organisasi tiga bulan kemudian, pada 4 November 1998, TGPF telah mengeluarkan delapan rekomendasi terkait kerusuhan 13-15 Mei 1998. Beberapa di antaranya adalah pemerintah harus segera melakukan penyelidikan lanjutan dan membuat instrumen hukum yang mendukung proses pada medio 2000, DPR membentuk Panitia Khusus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II TSS. Panitia yang diketuai Panda Nababan dari Fraksi PDI-P itu lantas menyatakan bahwa ketiga peristiwa tersebut adalah pelanggaran biasa dan bukan pelanggaran HAM tersebut diterima DPR dalam rapat paripurna dan menyerahkan penyelesaian kasus kepada pengadilan umum atau militer Kompas, 10/7/2001.Hasil yang disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR tersebut bertolak belakang dengan temuan Komisi Penyelidik Pelanggaran KPP HAM Trisakti-Semanggi yang menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam ketiga peristiwa berdarah tersebut Kompas, 22/3/2002.Akan tetapi, laporan dari KPP HAM menemui jalan buntu karena selalu dikembalikan oleh Kejaksaan Agung sebagai penyidik dan penuntut dengan berbagai alasan. Terakhir, Kejaksaan Agung mengembalikan 11 berkas penyelidikan kepada Komnas HAM pada November tidak hanya melahirkan perubahan dalam kualitas demokrasi, tetapi juga menumpahkan darah dan air tahun-tahun berikutnya, upaya pengusutan pelanggaran HAM berat pada kasus-kasus seputar reformasi seakan diam di 15 tersangka telah divonis bersalah dalam pengadilan tahun 1999 dan 2002, tetapi belum ada titik terang mengenai siapa pihak sesungguhnya di balik peristiwa-peristiwa berdarah Pengadilan HAM Ad Hoc sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang digadang-gadang dapat menemukan jawaban pun hingga kini belum juga Jalan Panjang Merawat Ingatan MasyarakatNonyudisialDengan mandeknya proses penyelesaian yudisial, pemerintah kemudian berfokus pada penyelesaian nonyudisial. Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat bentukan Kejaksaan Agung mengusulkan agar kasus-kasus yang diusut diselesaikan lewat jalur Joko Widodo Jokowi lantas pada Agustus 2022 membentuk Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu PPHAM.Akhirnya, setelah 25 tahun reformasi, berdasarkan laporan PPHAM, pada 11 Januari 2023 Presiden Jokowi mengakui dan menyesali terjadinya 12 pelanggaran HAM berat, termasuk penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, tragedi Trisakti, dan Semanggi tiga bulan kemudian, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Keppres Nomor 4 Tahun 2023 dan Instruksi Presiden Inpres Nomor 2 Tahun 2023 sebagai tindak lanjut proses penyelesaian nonyudisial sesuai rekomendasi Mei ini, Presiden Jokowi mengadakan rapat yang membahas pelaksanaan penyelesaian nonyudisial dengan 19 menteri, panglima TNI, jaksa agung, kepala Polri, dan lembaga penyelesaian nonyudisial tidak serta-merta meniadakan kewajiban pemerintah menegakkan penyelesaian secara serius dari pemerintah dan pengawalan dari masyarakat diperlukan untuk memenuhi keadilan bagi para korban reformasi, agar penantian korban dan keluarganya sepanjang 25 tahun terakhir ini tidak sia-sia. LITBANG KOMPASBaca juga Jejak Langkah 25 Tahun Reformasi
4 Dampak dari paham dan ajaran bagi John Wycliff dan John Huss [26] Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa John Wycliff yang dijuluki "Bintang Timur Reformasi Protestan" ini menyerang ajaran agama Katolik. Hal ini menimbulkan kontroversi yang panas antara John Wycliff yang notabene seorang imam terhadap Gereja katolik.
Gedung utama Mabes Polri istimewa/ Reformis mengandung pengertian orang yang menganjurkan reformasi atau orang yang mendukung reformasi. Adapun reformasi merupakan perubahan secara drastis untuk perbaikan bidang sosial, politik, atau agama dalam suatu masyarakat atau negara. Maka, istilah reformis yang dilekatkan oleh Kapolri dalam kata polisi reformis, kira-kira dapat ditafsir sebagai polisi yang mendukung reformasi di institusi kepolisi secara sempit, dan secara umum berarti mendukung reformasi di bidang hukum mengingat institusi Polri sebagai salah satu lembaga penegak hukum. Polri telah memiliki Grand Strategy 2005-2025 yang memperkenalkan tiga tahapan perubahan, mencakup pemulihan kepercayaan publik 2005-2010, pengembangan mitra kerja 20110-2015, dan periode 2016-2025 sebagai pencapaian institusi yang unggul. Jenderal Tito Karnavian menjabat sebagai Kapolri bersamaan dengan implementasi target pencapaian Polri sebagai institusi yang unggul. Tentu upaya yang dimulai tidak serta merta dimulai dari rencana pencapaian tahap akhir ini, karena keberlanjutan pencapaian reformasi sebelumnya belum seutuhnya sempurna. Berdasarkan visi perubahan tersebut, Polri mulai melakukan reformasi yang mencakup reformasi struktural, instrumental, dan kultural. Sejauh ini perubahan struktural dan instrumental relatif berlangsung dengan baik, akan tetapi perubahan kultural masih menjadi persoalan yang belum terpecahkan. Demikian pula perubahan dalam kelembagaan dan budaya Polri yang belum menyentuh akar “konservatisme” budaya yang sulit untuk berubah. Padahal, dengan dilahirkannya berbagai regulasi dan peraturan baru untuk internal organisasi Polri seharusnya mendorong proses perubahan budaya Polri Backer, 2009. Meskipun perubahan budaya tidak mudah dan membutuhkan waktu yang relatif lama Kadarmanta, 2007. Konteks reformasi kepolisian yang kemudian digaungkan kembali oleh Kapolri Tito Karnavian saat ini memiliki arti yang krusial, terkait dengan pencapaian reformasi kepolisian. Hal ini juga sejalan dengan target pemerintahan Joko Widodo yang mengeluarkan Paket Kebijakan Reformasi Hukum secara berkala sejak kuartal ketiga 2016. Indikator reformasi hukum secara substansi adalah memantapkan bahwa seluruh warga negara memiliki status sama di hadapan hukum. Hukum tidak pandang bulu, namun kondisi ini direfleksikan dengan bagaimana masyarakat dapat berinteraksi secara baik dengan berbagai institusi hukum. Polri sebagai lembaga penegak hukum, dalam sudut pandang ini dituntut menjadi aktor yang membangun kesadaran hukum di masyarakat. Bukan berarti mengantarkan segala perkara hukum ke hadapan pengadilan, tetapi lebih jauh dari itu adalah cipta kondisi tertib sehingga tidak berkembang menjadi masalah hukum. Namun seringkali, budaya pekerjaan okupasional kepolisian dipandang memiliki karakteristik berbeda dengan profesi lainnya. Petugas polisi diandaikan selalu bekerja dalam situasi berbahaya untuk memerangi kriminalitas dan tindakan-tindakan melawan hukum Skolnick, 1966; Bittner, 1967; Rubenstein, 1973. Oleh karena itu pekerjaan polisi membentuk sikap dan norma perilaku yang berbeda dengan profesi lain. Dalam konteks penyimpangan, perbedaan karakteristik itu pula yang seringkali diambil sebagai penjelasan terhadap berbagai perilaku menyimpang petugas polisi di lapangan Chan, 1997. Paradigma memerangi kejahatan fight againts crime masih banyak melekat di tubuh kepolisian. Padahal pemolisian yang baik memiliki tren ke arah pencegahan daripada penindakan. Lihat kembali kajian The Role and Responsibilities of the Police menjelaskan kinerja kepolisian di Inggris berdasarkan tuntutan keamanan properti. Dua kajian lain yang diulas pada pendahuluan juga menekankan adanya pergeseran peran pemolisian dari penindakan ke arah pencegahan. Istilah pencegahan dalam pemolisian di Indonesia berkenaan dengan menjaga ketertiban masyarakat dan perlindungan serta pengayoman masyarakat, kedua fungsi ini telah terinternalisasi dalam fungsi kepolisian. Namun, fungsi penegakkan hukum selama ini banyak dirasa jauh lebih mentereng dibandingkan kedua fungsi lainnya. Polisi reformis pada akhirnya merupakan suatu harapan bahwa reformasi di bidang hukum harus mencapai fase kembalinya kepercayaan publik. Hal ini sebagaimana disampaikan Jenderal Tito Karnavian dalam ceramah Sespimti Polri Dikreg Ke-25 2016 dan Pasis Sespimmen Polri Dikreg ke-56 2016. Indikator ini merupakan suatu turunan dari nilai-nilai demokrasi yang dianut sejak adanya reformasi 1998. Berikut kutipan ceramah Kapolri tersebut. Public trust is the matter nowadays, kepercayaan menjadi kunci saat ini. Semua unsur TNI Polri harus melayani masyarakat karena kekuasan berada di tangan rakyat. Penempatan polisi reformis pada jabatan strategis pada akhirnya merupakan suatu bentuk pemantapan kepemimpinan reformis yang berada di tubuh Polri. Reformasi kepemimpinan sudah dimulai dengan menempatkan Kapolri pada masa pemerintahan Joko Widodo, dengan menempatkan sosok Perwira Polisi muda, yakni Tito Karnavian, yang melewati empat angkatan dari pendahulunya. Konteks demokrasi telah menunjukkan bahwa perubahan yang cepat dapat berlaku. Pemilihan pimpinan dapat dilakukan secara objektif melalui sistem meritokrasi. []PolisiTangkap 8 Orang Diduga Joki UTBK SBMPTN di Jatim Webinar Kejaksaan Negeri Depok dan Kampus UI, Diapresiasi Jaksa Agung Sekdakot Banjarbaru Hadiri Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan P4GN Sosialisasi Perjanjian Kerja Sama Bank Kalsel dengan Ikatan Pesantren Indonesia (IPI) Samakan Persepsi Untuk Mendapatkan Hasil Yang Maksimal di Porprov 2022,KONI Cianjur Gelar Penyegaran Pelatih Cabor
Anis MattaJakarta, – Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat Gelora Indonesia Anis Matta mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah dalam sejarah perjalanan reformasi yang telah berjalan selama 24 tahun belum selesai dan tidak sesuai dengan memunculkan rasa penyesalan dari para pelaku sejarah reformasi atau tokoh reformasi seperti Budiman Sujatmiko dan Fahri Hamzah, yang telah menumbangkan rezim Orde Baru dan melahirkan beberapa presiden. Namun, perubahan yang mereka ciptakan, ternyata tidak bisa dikontrol dan dikendalikan sesudahnya, oleh mereka sendiri.“Saya kira, saya telah berhasil membuat tokoh reformasi ini menyampaikan penyesalannya dengan baik. Yang mereka sesali adalah satu hal yang sama, bahwa reformasi belum selesai,” kata Anis Matta, Kamis 26/5/2022.Anis Matta meminta Budiman Sujatmiko dan Fahri Hamzah yang hadir dalam diskusi tersebut, untuk curhat dengan mimpi mereka sebagai seorang aktivis yang belum terealisasi atau belum menjadi kenyataan selama hampir seperempat abad reformasi.“Saya ingin sedikit meminta komentar mereka berdua yang bisa personal, khususnya Mas Budiman Sujatmiko dan Bung Fahri. Kira-kira apa yang Anda sesali, mimpi apa sebagai aktivis yang belum terealisasi dalam waktu 24 tahun reformasi ini,? tanya Anis Matta kepada mereka Anis Matta, Budiman Sujatmiko dan Fahri Hamzah memiliki satu kesamaan, yakni tidak memiliki ambisi kekuasaan. Sehingga perubahan yang mereka ciptakan, perjalanan sejarahnya tidak bisa mereka kontrol sesudahnya. “Itu menyebabkan perubahan yang mereka ciptakan tidak bisa mereka kontrol. Jalannya sejarah sesudahnya tidak seperti yang ada dalam rencana mereka. Sehingga banyak pekerjaan rumah yang belum selesai,” itu, Anis Matta berharap agar para calon presiden capres yang akan maju pada Pemilihan Presiden Pilpres 2024 berasal dari tokoh-tokoh reformasi agar agenda pekerjaan rumah reformasi bisa dituntaskan. “Bisakah kita berharap, bahwa tahun depan itu sekaligus para capres yang akan maju untuk Pemilu 24 itu datangnya dari tokoh-tokoh reformasi, untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang belum selesai,” ujar Anis Matta. Sebab, cita-cita reformasi pada dasarnya adalah pintu gerbang untuk menciptakan kesejahteraan, bukan hanya demokrasi saja, meskipun kedua-duanya bisa berdiri sendiri.“Tapi mimpi reformasi pada mulanya adalah menciptakan satu sintesa di mana demokrasi dan kesejahteraan bisa bertemu pada suatu titik dalam perjalanan sejarah kita,” katanya. Hal itu seperti yang terjadi pada sintesa Orde Lama Orla dan Orde Baru Orba. Orla dikatakan memiliki kebebasan, tapi tidak ada kesejahteraan, sementara saat Orba ada kesejahteraan, tapi tidak ada kebebasan.“Makanya saya membuat perumpamaan, Indonesia itu seperti burung. Dia disebut burung, kalau dia bisa terbang dan berkicau. Tapi kalau kalau dia lapar, dia tidak bisa terbang dan bisa berkicau saja, itu namanya burung dalam sangkar. Itu ada lagunya,” kata Anis Matta sambil lanjut Anis Matta, itu seperti burung yang sudah bisa terbang, tapi tidak terlalu lapar, sehingga terbangnya rendah, tidak begitu tinggi, padahal langitnya sangat tinggi. “Jadi lahirnya Partai Gelora sebenarnya, karena cita-cita reformasi yang ingin menjadikan Indonesia terbang tinggi. Sekarang sudah terbang, tapi terbangnya tidak terlalu tinggi, sementara langit Indonesia ini terlalu tinggi,” Umum Partai Gelora ini berharap agar para aktivis reformasi bisa mencari ilham dari kisah Nabi Yusuf, yang menafsirkan mimpi Raja Mesir. “Bahwa Nabi Yusuf meramalkan akan ada krisis yang terjadi di Mesir seperti yang dimimpikan oleh Raja Mesir. Dia tahu bagaimana mengatasi krisis, tapi beliau meminta dijadikan penguasa dan sebagai bendahara keuangan negara agar bisa mengambil alih situasi krisis,” yang terkandung dari kisah tersebut, adalah para aktivis reformasi harus terjun untuk mengejar kekuasaan agar bisa melakukan perubahan dan menuntaskan agenda reformasi yang belum selesai, tidak sekedar mengedepankan intelektualitas.“Kita harus pertemukan semangat perubahan yang ada pada para aktivis intelektual ini, dengan semangat pengambil-alihan situasi krisis tersebut. Syahwat kekuasaan mereka saat ini kecil, sehingga tidak bisa mengendalikan jalannya sejarah reformasi,” hal ini, Politisi dan Aktivis Demokrasi Budiman Sudjatmiko menegaskan, bahwa dirinya tidak memiliki ambisi untuk mengejar kekuasaan di eksekutif. Ia mengaku sudah puas menjadi Anggota DPR di lembaga legislatif.“Kalau ada yang saya sesali selama 24 tahun reformasi ini, karena secara pribadi, saya tidak punya ambisi perebutan kekuasaan atau kekuasaan eksekutif. Itu saya sadari, hanya puas di legislatif,” kata Budiman Anggota DPR dari PDIP mengatakan, penyesalan itu baru dia sadari sekarang ini, setelah 24 tahun reformasi, ternyata banyak agenda yang belum selesai dan tidak seusai dengan harapan seperti yang dicita-citakan reformasi. “Jadi setelah 24 tahun reformasi, kita akan lebih menyesal lagi dari apa yang tidak bisa kita lakukan sekarang. Sehingga perlu dorongan lebih kuat lagi supaya jelang 25 tahun reformasi, Indonesia punya lompatan yang lebih jauh lagi dalam pencapaian,” memimpin lompatan tersebut, kata Budiman, harus dipimpin oleh orang-orang yang dulu berjuang pada tahun 1998.“Sekarang bangsa Indonesia jelang 25 tahun hidup di sistem demokrasi. Kira-kira ada tidak, lompatan kualitatif yang bisa kita dorong lebih kencang lagi?” ucapnya. Ia menyadari bahwa Indonesia saat ini, banyak kemajuan, tapi kamajuannya masih belum signifikan.“Rasanya bisa digas, digas lagi deh, dan rasa-rasanya untuk bisa ngegas jalannya reformasi ini, syarat utama adalah seharusnya orang seperti teman aktivis 1998 untuk jadi garda depan untuk ngegas. Agar bisa keluar dari quarter life crisis kehidupan 24 tahun Idonesia pasca reformasi,” melihat kondisi saat ini, Budiman merasa adanya suatu energi, tujuan, dan semangat bersama yang sama seperti pada tahun 1998. Namun yang berbeda dari 24 tahun lalu adalah cakupan dari isi dan konten.“Menuju lompatan yang lebih jauh ini merupakan pekerjaan rumah tangga untuk satu tahun ke depan agar kelak saat 25 tahun usia reformasi, Indonesia sudah bisa mendapat skor yang jauh lebih positif lagi,” Sudjatmiko mengatakan narasi besar yang dirasa cocok dengan semangat zaman sekarang ini adalah narasi kemajuan.“Kalau tahun 98 itu adalah narasi kebebasan, kemudian setelah kebebasan saya ingin mendorong narasi kesetaraan dan keadilaan. Sekarang kita harus mendorong narasi kemajuan,” Wakil Ketua DPR Periode 2004-2019 Fahri Hamzah mengatakan, ia tidak terlalu memusingkan rasa penyesalan secara personal terhadap agenda reformasi yang belum selesai. “Kita nggak boleh mengambil itu terlalu personal, tapi hanya sebagai sebuah kritik. Kita memang tidak memiliki sebuah desain tentang reformasi, tapi tahu-tahu mendadak kita masuk dalam revolusi perubahan itu,” kata Fahri Hamzah. Reformasi ketika itu, kata Fahri Hamzah, hanya dibaca sebagai ekspresi rasa kebosanan dari rezim Soeharto yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun, yang menginginkan kebebasan dan kemapanan. “Nafasnya zaman itu, orang sudah bosan, makanya ketika Soeharto mengundurkan diri, rakyat pesta, banyak yang potong ayam dan sapi, begitulah ekspresinya. Tidak punya ide atau gagasan,” ungkap Fahri ekspresi kebosanan ini, bisa sangat berbahaya bagi sistem ketatenagaran dan perpolitikan kita, apabila tidak diatur secara tegas. Rakyat bisa menjatuhkan Presidennya sewaktu-waktu jika sudah bosan, sehingga ketika reformasi masalah pembatasan jabatan Presiden diatur. “Kalau masa jabatan Presiden tidak dibatasi, ketika kebosanan rakyat ini datang tiba-tiba itu yang berbahaya. Kalau orang sudah bosan pokoknya, susah dilawan. Itulah problem kita, karena kita tidak punya narasi,” itu, Fahri Hamzah mengkritik mantan aktivis reformasi yang kini menjadi Anggota DPR dari PDIP Adian Yunus Yusak Napitupulu, yang menolak BJ Habibie sebagai Presiden menggantikan Soehato, karena dianggap kaki tangan Soeharto dan Orba. “Saya dulu bentrok dengan temen-temennya mas Budiman Sudjatmiko, termasuk Mas Adian Napitupulu. Kenapa BJ Habibie ketika jadi Presiden, teman-teman mahasiswa tidak mengambil sedikit momen untuk membaca sejarah bahwa BJ Habibie ini, manusia yang lain. Dia datang membawa gagasan lain dalam negara, meskipun dia berada dibawah kekuasan Orde Baru. Dia ini orang Jerman, punya pikiran Eropa tentang konsep demokrasi,” ini, menurut Fahri, memiliki pespektif lain dalam berbangsa dan bernegara. Ia justru disalahkan gara-gara membela Habibie, padahal dia melihat Presiden RI ke-3 itu, memiliki konsep arsitektur bangunan sistem perpolitikan dan demokrasi di Indonesia. “Jadi sebagai bangsa kita punya problem itu. Kita selalu lebih tertarik kepada orang, daripada pada gagasannya. Habibie dianggap dari bagian dari Soeharto yang harus diturunkan dan dihancurkan,” yang telah berjalan 24 tahun ini, menurutnya, tidak memiliki bangunan arsitektur dari perubahannya, hanya sekedar mengakomodasi tuntutan mahasiswa seperti amandemen konstitusi, penghapusan Dwifungsi ABRI dan Otonomi Daerah. “Setelah 24 tahun reformasi, kalau kita mau mengevaluasi, maka bangunan pemerintahan itu harus memiliki fondasi dan narasi yang kuat agar bisa dipertahankan,” katanya. Sebab, gagasan yang diletakkan sebagai fondasi bangunan yang solid akan memelihara kebebasan dari sistem tersebut. “Makanya kita tidak punya masalah dengan para pemimpin, termasuk dengan Pak Jokowi Presiden Joko Widodo karena sudah dipilih rakyat, ya harus diterima, Ketua Umum Partai Gelora ini mengkritik Presiden Jokowi, karena Presiden dinilai ingin mengembangkan narasi kemajuan dengan mencontoh negara totaliter seperti China, bukan negara demokrasi.“Kita menginginkan antara demokrasi dan kesejahteraan harus jalan bersama-sama,” adalah penyerdehanaan pola keterpilihan pemimpin politik, jauh dari rekayasa politik. Karena saat ini, lanjutnya, muncul begitu banyak pemimpin yang didukung oligarki dan uang, padahal tidak memiliki kapasitas sebagai pemimpin.“Tiba-tiba balihonya muncul di mana-mana, karena dia punya uang, ini tidak fair. Sistem kita masih memfasilitasi kemewahan uang ini untuk memimpin, bukan kemewahan gagasan. Kalau orang seperti Mas Budiman Sujadmiko menjadi Presiden saya rela, tapi ini karena dia sekolah di luar negeri, punya uang banyak, menggunakan faslitas negara untuk populer, kita tolak karena orang seperti ini tidak punya gagasan,” Ketua Umum Nasional Pemuda Indonesia KNPI Muhammad Ryano Panjaitan meminta agar para aktivis reformasi tidak terjebak pada rasa penyesalan, karena akan membawa dampak pafa generasi berikutnya. “Kita tidak perlu terjebak di dalam penyesalan, tapi kita perlu mengawasi kinerja pemerintahan agar kebijakan-kebijakan yang dilahirkan sesuai amanat reformasi,” kata Ryano berharap semua pihak tidak berorientasi hanya kepada kekuasaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun juga harus mendukung program-program investasi dan enterpreneur. “Jadi narasi baru kita, adalah menciptakan aktivis enterpreneur yang jiwa kemandirian jiwa, kreativitas dan inovatif. Negara dikatakan maju, karena memiliki banyak entrepeneur, dan pemerintah perlu menggalakkan program enterpreuner ini,” Luki HerdianEditor Pahala Simanjuntak
Jawaban Pertanyaan: Bagaimana bisa mayoritas orang Jerman di era 1930an menaikan, menyukai dan mendukung Adolf Hitler yang adalah seorang diktator yang bertentangan dengan prinsip Renaisans dan Reformasi Protestanisme ditambah dia terang-terangan adalah anti-semit? Saya jelaskan dulu bagian per
Salahsatu yang sangat mendukung langkah ini adalah biarawan Johann Tetzel dari Ordo Dominikan. Kendati sebagian orang meragukan aksi Luther, Theses 95 yang juga dikenal dengan Disputation on the Power of Indulgences diingat sampai sekarang sebagai awal mula berdirinya Kristen Protestan dan diperingati sebagai Hari Reformasi setiap tanggal
wchs1ko.